Langsung ke konten utama

Paradigma Pemerintahan Government ke Governance



Proses reformasi telah membawa perubahan paradigma pemerintahan dari  government menjadi  governance. Revitalisasi dan reposisi kelembagaan pemerintah daerah telah dilakukan mengawali proses desentralisasi (otonomi daerah) sebagai bagian dari proses menuju governance. Desentralisasi untuk meng-optimalkan fungsi pemerintahan, meliputi: pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan diformulasikan dalam kebijakan publik, serta berorientasi pada kebutuhan masyarakat. Optimalisasi fungsi pemerintahan dapat diwujudkan jika para pejabat sensititif dan responsif terhadap peluang dan tantangan baru, mampu melakukan terobosan, pemikiran kreatif dan inovatif, memiliki wawasan futuristik dan sistemik antisipatif meminimalkan resiko dan mengoptimalkan sumber daya potensial (Propenko & Pavlin, 1991). Dengan  demikian otonomi daerah harus diartikan sebagai upaya menciptakan kemampuan mandiri dari mas-yarakat daerah, bukan hanya pemerintah daerah. Oleh sebab itu otonomi bermakna pemanfaatan sumber daya daerah dengan memperhatikan kepentingan masyarakat untuk mencapai ke-sejahteraan dengan kearifan lokal (Joe Fernandes, dkk, 2002).
Penerapan desentralisasi masih sebatas sebagai upaya meningkatkan PAD. Komitmen untuk memperbaiki kondisi masyarakat lokal secara nyata dan sistemik melalui perbaikan kinerja organisasi dan layanan publik relatif masih rendah. Tidak sedikit fakta yang di-aplikasikan media menunjukan bahwa kualitas layanan publik belum mengalami peningkatan yang signifikan dengan peningkatan belanja daerah, peningkatan beban masyarakat yang berupa kenaikan pajak dan biaya layanan (Wahyudi Kumorotomo, 2005). Realitas tersebut menunjukan, bahwa layanan publik sebagai bagian yang sangat penting dari peran negara dalam tatanan demokrasi belum dapat di-optimalkan. Pada hal layanan publik menjadi indikator utama sejauh mana suatu pemerintahan telah menjalankan mandat yang diberikan rakyat kepada penyelenggara negara. Layanan publik merupakan suatu arena transaksi paling nyata dan intensif antara rakyat dengan pemerintah, interaksi aktif antara pemberi dan penerima layanan merupakan bagian  penting dari proses membangun partisipasi dan akuntabilitas publik.
Pemerintah daerah sebagai penyedia layanan publik senantiasa dituntut kemampuan-nya meningkatkan kualitas layanan, mampu menetapkan standar layanan yang berdimensi menjaga kualitas hidup, melindungi keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Kualitas layanan juga dimaksudkan agar semua masyarakat dapat menikmati layanan, sehingga menjaga kualitas layanan publik juga berarti menjamin hak-hak asasi warga negara (Joe Fernandes, dkk, 2002).
Konsep layanan prima menjadi model yang diterapkan guna meningkatkan kualitas layanan publik. Pelayanan prima merupakan strategi mewujudkan budaya kualitas dalam pelayanan publik. Orientasi dari pelayanan prima adalah kepuasan masyarakat pengguna layanan.  Membangun pelayanan prima harus dimulai dari mewujudkan atau meningkatkan profesionalisme SDM untuk dapat memberi pelayanan yang terbaik, mendekati atau melebihi standar pelayanan yang ada (Sedaryanti, 2004).
Kendala terbatasnya SDM yang ber-kompeten harus menjadi tantangan bagaimana kompetensi SDM yang ada dapat ditingkatkan.  Upaya peningkatan kualitas layanan publik melalui pelayanan prima mengandung makna menutup kesenjangan antara persepsi pemberi layanan dan pengguna layanan akan proses dan hasil layanan. Dalam perspektif pengguna layanan kriteria kualitas layanan meliputi, murah, mudah dan baik. Oleh sebab itu pemerintah daerah sebagai pemberi layanan senantiasa mengupayakan pelayanan yang terjangkau (dekat), tepat dan cepat (Riswanda Imawan, 2005).
Salah satu pola pelayanan prima yang telah diterapkan oleh pemerintah daerah adalah pelayanan satu atap, yaitu: pola pelayanan publik yang dilakukan secara terpadu pada suatu tempat oleh beberapa instansi pemerintah yang bersangkutan sesuai dengan kewenangan  masing-masing (LAN, 1998). Permasalahannya bagaimana mekanisme pelayanan satu atap dibangun untuk mewujudkan pelayanan prima yang efektif?
Jawaban atas pertanyaan itu, adalah senantiasa aparat pemerintah secara ber-kelanjutan melakukan upaya membuktikan bahwa aparat pemerintah daerah memiliki komitmen yang tinggi bagi penciptaan kualitas pelayanan publik yang lebih baik. Betapapun demokrasi akan kehilangan makna jika aparat pemerintah daerah tidak mampu memperbaiki citra pelayanan publik di daerah yang kini lebih otonom.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Polemik Reklame di Kota Surabaya

Permasalahan penyelenggaraan reklame di Indonesia menitik beratkan dari dasar hukum yang dipergunakan, meskipun telah terdapat perda yang mengatur tentang penyelenggaraan reklame dan pajak reklame, tetapi masih terdapat   aturan-aturan yang lebih teknis melalui Peraturan Walikota (Perwali). Dalam kenyataannya, sebagian besar perusahaan periklanan selaku wajib pajak (WP) mengatakan selalu dirugikan oleh pihak Pemkot baik dalam hal perizinan maupun pembebanan tarif pajak reklame yang dianggap sangat besar. Berdasarkan definisinya, reklame merupakan media periklanan dengan ukuran besar yang ditempatkan pada area yang sering dilalui, seperti halnya pada sisi persimpangan jalan raya yang padat. Reklame berisi iklan yang ditujukan untuk dilihat pejalan kaki maupun pengendara kendaraan bermotor yang melewatinya. Reklame umumnya berisi ilustrasi yang besar dan menarik, disertai dengan slogan . Di Indonesia, terdapat kecenderungan membedakan reklame dan iklan berdasarkan kate...

Permasalahan Pelik Kota Besar : Pedagang Kaki Lima

Persoalan pedagang kaki lima (PKL) menjadi masalah yang tak pernah absen di seluruh kota di Indonesia. PKL selalu menimbulkan kesan yang buruk terhadap penataan ruang kota seperti masalah estetika, ketidak teraturan, ketertiban, kebersihan, masalah keamanan, penurunan kualitas lingkungan, dan permasalahan lalu lintas, PKL menjadi dilematis ketika realita nya memberikan manfaat tersendiri bagi masyarakat. PKL pun menjadi salah satu primadona masyarakat dalam memenuhi Kebutuhan konsumsi sehari-hari. Kelebihannya yang murah dan mudah dijangkau membuat masyarakat sulit melepas PKL. Hampir di seluruh kota di Indonesia PKL digusur untuk menangani dampaknya serta mengembalikan keindahan ruang kota. Tetapi hal ini bukan penyelesaian yang solutifkarena pada akhirnya [ara PKL tersebut kembali ke tempat semula atau mencari pusat keramaian baru. Kebijakan ini hanya memindahkan permasalahan sementara saja atau justru memindahkan permasalahan ke tempat yang baru, tetapi tidak menyelesaika...