Permasalahan penyelenggaraan reklame di
Indonesia menitik beratkan dari dasar hukum yang dipergunakan, meskipun telah
terdapat perda yang mengatur tentang penyelenggaraan reklame dan pajak reklame,
tetapi masih terdapat aturan-aturan yang
lebih teknis melalui Peraturan Walikota (Perwali). Dalam kenyataannya, sebagian
besar perusahaan periklanan selaku wajib pajak (WP) mengatakan selalu dirugikan
oleh pihak Pemkot baik dalam hal perizinan maupun pembebanan tarif pajak
reklame yang dianggap sangat besar.
Berdasarkan
definisinya, reklame merupakan media periklanan
dengan ukuran besar yang ditempatkan pada area yang sering dilalui, seperti
halnya pada sisi persimpangan jalan raya yang padat. Reklame berisi iklan yang ditujukan untuk
dilihat pejalan kaki maupun pengendara kendaraan bermotor yang melewatinya.
Reklame umumnya berisi ilustrasi yang besar dan menarik, disertai dengan slogan.
Di Indonesia, terdapat kecenderungan membedakan reklame dan iklan berdasarkan
kategori penempatannya, sehingga reklame digunakan untuk menyebutkan media
periklanan ruang luar, sedangkan iklan untuk menyebutkan media periklanan ruang
dalam.
Pada umumnya kota besar di Indonesia,
keberadaan reklame bukan merupakan hal yang asing bagi masyarakat. Bahkan
keberadaannya kadangkala menimbulkan permasalahan tertentu khususnya dalam hal
penataan dan keindahan tata kota. Hal ini disebabkankan besarnya minat para
pengusaha untuk dapat memasang iklan melalui media papan reklame tersebut,
sehingga papan reklame maupun media promosi luar ruang lainnya banyak
bertebaran di sepanjang jalanan perkotaan. Untuk mengantisipasi hal tersebut,
maka beberapa kota besar di Indonesia memberlakukan peraturan pemerintah daerah
yang mengatur perihal keberadaan reklame-reklame tersebut baik dalam hal
perijinan, maupun pajak reklame itu sendiri.
Hal ini tentu saja menimbulkan perdebatan di
antara para pengusaha dan perusahaan periklanan, karena beban pajak yang
relative besar serta dapat menurunkan pendapatan pihak perusahaan periklanan
tersebut. Langkah demikian juga dilakukan oleh kota Surabaya, sebagai salah
satu kota besar dan kota metropolitan di Indonesia yang memberlakukan perubahan
terhadap peraturan pemerintahan daerah yang mengatur perihal pajak reklame.
Besarnya pajak reklame yang saat ini
dibebankan kepada perusahaan periklanan daerah serta para pelaku usaha yang
ingin melakukan promosi juga menimbulkan masalah atau polemic tersendiri.
Karena pada saat beban pajak reklame dinaikkan menjadi cukup besar justru
membuat banyak bermunculan reklame bermasalah, reklame “bodong” atau reklame yang tidak bayar pajak.
Hal ini juga diakibatkan oleh tidak adanya tindakan
pembongkaran yang segera dilakukan oleh pihak Satpol PP kota Surabaya sebagai
penegak Peraturan daerah (Perda), serta sebagai akibat panjangnya aturan dan
rantai birokrasi pelaksanaan eksekusi.
Lemahnya pengawasan pemasangan reklame di
kota Surabaya menambah deretan masalah atas kenakalan yang dilakukan oleh perusahaan
periklanan tanpa pengawasan dari pihak Satpol dan Dispenda.
Bentuk dari kenaikan pajak reklame Surabaya
melalui Perwali 70/71 Tahun 2010 adalah ditujukan untuk ukuran 8 meter ke atas
dengan kisaran kenaikan antara 100% hingga 400%. Sedangkan untuk reklame ukuran
8 meter ke bawah dilakukan penurunan sekitar 40%. Upaya yang dilakukan pemerintah daerah kota
Surabaya dalam hal menaikkan tarif pajak reklame adalah untuk membatasi pemasangan
reklame raksasa yang rawan dan membahayakan masyarakat. Karena berdasarkan
pemeberitaan serta data yang diterima pihak pemerintah daerah kota Surabaya
terdapat beberapa reklame besar yang roboh dan menimpa mobil, motor, bahkan ada
yang sampai merenggut nyawa warga Surabaya, selain itu hal ini dilakukan
juga untuk menghapus julukan kota Surabaya sebagai hutan reklame.
Sedangkan untuk reklame ukuran dibawah 8
meter dilakukan kebijakan dengan menurunkan pajak reklame yang bertujuan utuk
memberi kesempatan bagi para Pengusaha UKM untuk mempromosikan produknya
melalui media promosi reklame.
Penurunan nilai sewa reklame dengan ukuran
kecil memiliki beberapa hal tujuan yang ingin dicapai pemerintah daerah kota
Surabaya. Menurut Kepala Bidang (Ka Bid) Pendapatan Pajak Dinas Pendapatan dan
Pengelolaan Keuangan Kota Surabaya Joestamadji :
“Agar
biro reklame yang punya tunggakan pajak segera melunasi utangnya. reklame kecil
tak begitu diperhitungkan lantaran pendapatan dari ukuran ini minim, hanya 45%
dari total pemasukan pajak dari sektor reklame. Sebenarnya populasi reklame
mini cukup besar, yakni hingga 92%. Sementara populasi reklame besar hanya 8%. Walau
begitu, sumbangan pendapatannya (reklame besar) jauh lebih tinggi, yaitu hingga
55%. Inilah yang perlu kami dongkrak,”tegasnya.[1]
Kebijakan perihal pajak reklame juga
mendapat tantangan keras dari DPRD Surabaya. Naiknya pajak reklame yang
ditetapkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini hingga 200% mendapat tentangan
keras dari anggota DPRD Surabaya. Bahkan sejumlah pimpinan dewan berikrar akan
menggunakan hak bertanya (interpelasi) ke wali kota atas keputusan itu.[2]
Sejak tahun 2010 Walikota
Surabaya Tri Rismaharini telah menaikkan pajak reklame, meskipun hal ini mendapatkan
pertentangan dari beberapa anggota DPRD namun konsensus politik tetap
memenangkan Tri Rismaharini baik posisinya sebagai Walikota maupun kenaikan
pajak reklamenya.
Fenomena yang terjadi saat ini adalah walaupun
pajak reklame sudah dinaikkan, tetapi beberapa
anggota Dewan mempertanyakan fakta turunnya pendapatan asli daerah (PAD) Pemkot
Surabaya. Menurunnya angka PAD Surabaya tidak diimbangi dengan semakin
banyaknya reklame yang terpasang di sudut jalan kota Surabaya.
Berdasarkan data yang diperoleh dalam
periode empat tahun terakhir, pendapatan pajak reklame yang masuk adalah :
-
Tahun 2010 sebesar Rp 98,7
Miliar,
-
Tahun 2011 sebesar Rp. 90,2
Miliar,
-
Tahun 2012 sebesar Rp 117,6
Miliar,
-
dan Tahun 2013 Rp sebesar
114,6 Miliar.[3]
Berdasarkan data tersebut di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa kenaikan hanya terjadi pada tahun 2012 kemudian terjadi
penurunan kembali pada tahun 2013 dalam jumlah yang cukup besar yaitu 2,5%.
Permasalahan lainnya yang
dikemukakan oleh para pengusaha periklanan adalah perihal perijinan IMB untuk
konstruksi reklame. Saat ini para pengusaha periklanan diwajibkan untuk
mengurus dua bentuk perijinan yaitu izin reklame dan
IMB untuk konstruksi reklame, serta juga diwajibkan untuk membayar kedua beban
pajak tersebut bersamaan di awal. Sedangkan perusahaan periklanan tidak dapat
seketika mendapatkan proyek dari para pemakai jasa periklanan, akibatnya titik
kerugian sudah dapat diperhitungkan jika terjadi kenaikan beban pajak yang
sangat besar. Hal ini juga menjadi penyebab besarnya tanggungan hutang pajak
reklame dikarenakan para pengusaha periklanan yang tidak mendapatkan proyek
iklan membatalkan izin nya tersebut.
Diperlukan
kajian lebih mendalam terkait Evaluasi Dampak Kebijakan Perwali 70/71 Tahun
2010 tentang Perhitungan Nilai Sewa Reklame dan Perhitungan Nilai Sewa Reklame
Terbatas pada Kawasan Khusus di Kota Surabaya terhadap kondisi reklame di Surabaya. Hal ini menjadi
sebuah masalah empirik yang perlu dilakukan pembuktian dan analisa secara
mendalam untuk mempelajari ketergantungan dari dua variabel tersebut.
[3] http://www.fiskal.co.id/berita/fiskal-2/1652/pajak-reklame-naik di akses tanggal 12 Agustus 2015
Komentar
Posting Komentar